Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)
Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)
Sesuai dengan judulnya, beasiswa Fulbright merupakan salah satu beasiswa dengan rentang waktu seleksi terpanjang sekitar 1 tahun. Yap, daftar tahun ini untuk intake kuliah tahun depannya. Untuk yang baru pertama kali dengar, Beasiswa Fulbright merupakan program beasiswa untuk gelar Master dan PhD yang disediakan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Didirikan oleh Senator Amerika Serikat J. William Fulbright pada tahun 1946. Jadi, bisa kebayang jejaring alumni yang tersebar hampir di setiap negara.
Pada tulisan kali ini, saya akan membagi pada tiga bagian yaitu (1) perjalanan seleksi beasiswa Fulbright sampai dengan lolos menjadi awardee, (2) spesifik membedah esai personal statement, (3) dan membedah esai study objective. Alasannya, kedua esai ini memiliki proporsi sangat penting dibanding persyaratan lainnya, bahkan syarat skor bahasa yang mungkin tidak seberapa (hehe, pengalaman pribadi). Well, langsung saja ke cerita pengalaman.
Tahap pertama beasiswa Fulbright adalah tahap administrasi. Sama halnya seperti beasiswa pada umumnya, lengkapi semua persyaratan beasiswa yang dibutuhkan. Pada beasiswa Fulbright, semua berkas administrasi dikirim secara offline di dalam amplop ke kantor AMINEF (American-Indonesian Exchange Foundation). Satu saran untuk tahap ini adalah, jika memungkinkan, kirimkanlah berkas administrasi seminggu sebelum tenggat waktu. Hal ini lah yang saya lakukan saat tahap administrasi, alasannya adalah untuk menghindari masalah-masalah teknis terkait proses pengiriman oleh jasa pengiriman.
Sekitar 5 bulan kemudian, tiba-tiba muncul notifikasi di email terkait tahap interview. Alhamdulillah, one step closer. Sekitar satu minggu persiapan untuk tahap wawancara. Hal pertama kali yang saya lakukan adalah membaca kembali esai personal statement dan study objective berulang-ulang kali, sembari juga mencari tahu aspek-aspek apa saja yang potensial untuk ditanyakan oleh interviewer dari esai tersebut. Kedua, berbasis pada aspek-aspek tadi, saya susun kembali dalam sebuah pertanyaan dan jawaban yang dielaborasikan secara mendalam. Pada dasarnya, interview hanyalah mengonfirmasi dan mendalami aspek-aspek apa saja yang telah dituliskan di dalam esai. Ketiga, saya mencoba berlatih menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi di depan cermin dan direkam dengan gadget sehingga bisa tau apa kekurangan. Tahap interview tahun ini bisa dibilang sedikit beruntung karena dilaksanakan secara offline disebabkan pandemi COVID-19. Keempat, jika ada kesempatan, cobalah untuk berlatih mock interview dengan senior atau siapapun yang dirasa bisa membantu improving skills saat interview. Berhubung saat itu, saya disibukkan dengan pekerjaan dan seleksi beasiswa sebelah, jadi saya hanya berlatih satu kali interview dengan salah satu mentor beasiswa.
Tibalah waktu interview, segala persiapan dari aspek teknis dan mental sudah dipersiapkan. Interviewer berjumlah 4 orang. 1 orang merupakan native american. 3 orang merupakan dosen alumni Fulbright. Tahap wawancara berjalan sekitar hampir 30 menit. Tidak begitu terasa, karena sepanjang interview, saya merasa seperti bercerita dan berbagi pengalaman dan harapan. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang muncul:
- Setelah menyelesaikan program master disini, apa rencana yang akan kamu lakukan? (Sesuai prediksi)
- Jika diterima, ingin dikampus mana dan alasannya kenapa? (Sesuai prediksi)
- Ceritakan pekerjaan yang kamu sedang lakukan di lemnbaga nonprofit dan peranmu seperti apa? (Sesuai prediksi)
- Apa tantangan tersulit yang kamu hadapi? (Tidak sesuai prediksi)
- Apa pernah melakukan publikasi, coba ceritakan penelitian tersebut? (Diluar ekspektasi) Sempat jeda beberapa detik karena berpikir publikasi apa yang dimaksud, dan teringat penelitian tahun 2017 yang isinya hampir kebanyakan lupa. Akhirnya, jawaban seadanya.
Dua bulan kemudian...
Muncul notifikasi di email bahwa lolos menjadi alternate candidate (kandidat cadangan). Antara senang dan sedih. Senang karena ada progress yang tampak, sedih karena statusnya masih ngambang. Satu hal yang saya lakukan yaitu mencari sebanyak-sebanyaknya informasi terkait status kandidat cadangan Fulbright. Dari berbagai macam artikel dan video YouTube saya lihat, akhirnya sampai pada kesimpulan apabila ingin menjadi awardee, saya harus bisa mendapatkan kampus di tahap university admission. Jadi, buat kalian yang memiliki pengalaman serupa, jangan menyerah, selama kalian dapat slot kampus di US, maka peluang untuk menjadi awardee akan terbuka lebar.
Setelah menjadi kandidat, saya bersama teman-teman lainnya diikutkan program pelatihan TOEFL iBT dan GRE oleh pihak AMINEF karena kami diharuskan mengikuti tes tersebut untuk tahap university admission. Disinilah saya mulai merasa struggling karena dituntut untuk bisa mencapai target skor sekian. Saya pun menyadari saat itu salah satu kekurangan saya yaitu pada kemampuan bahasa. Saya sendiri butuh 4x tes TOEFL iBT dan 1x Duolingo English test sampai kemudian disarankan untuk mengikuti program LTE (Long Term English) Program. Akhirnya, saya pun harus berangkat 5 bulan lebih awal dibanding kandidat lainnya karena harus mengikuti program pengayaan bahasa di Southern Illinois University, US. Tepat bulan maret, saya mulai menjalani program disini.
Bersyukur saat itu, baru seminggu disini tiba-tiba mendapat notifikasi email bahwa Georgia State University memberikan admission kepadaku. Alhamdulillah, bahagia luar biasa. Tepat di program studi dan spesialisasi yang aku butuhkan. And I’m coming, Atlanta !!!
Begitulah sekilas perjalanan dari mulai tahap awal sampai tahap akhir Beasiswa Fulbright. Dari Januari 2021-Maret 2022 adalah periode yang harus dijalani. Dari cerita pengalaman ini, semoga ada hal baik yang bisa pembaca ambil. Semangat untuk kalian yang terus berjuang untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.
Link ke Part 2 : http://parlaunganasution.blogspot.com/2022/06/long-journey-for-fulbright-scholarship.html
Komentar
Posting Komentar