Critical Pedagogy dan Reformasi Pendidikan





70 tahun sudah Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Di umur kesekian ini, Indonesia masih tergolong sebagai negara “muda” baru merdeka. Namun, ini bukan menjadi alasan untuk kita merasakan perubahan kehidupan yang lebih baik.
Pada umur ke-70 ini banyak yang bertanya-tanya apakah Indonesia saat ini benar-benar merdeka ?
Jika kita melihat sekilas, pertanyaan tersebut, anggapan itu hanya lah sekadar sindiran. Namun, secara kritis kita melihatnya, kemerdekaan apa yang kita sebenarnya kita cita-citakan, apa kemerdekaan sepenuhnya, tentunya itu tidak mungkin apalagi di era globalisasi seperti saat ini. Kemerdekaan progresif lah yang lebih realistis untuk kita capai. Menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri tidak bergantung kepada negara lain.
Salah satu pendorong tercapainya kemerdekaan progresif tersebut tentunya melalui bidang pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi warga negara Indonesia. Sesuai dalam pembukaan UUD 1945 “…Mencerdaskan Kehidupan Bangsa…”, maka menjadi kewajiban bagi negara untuk memberikan pendidikan yang layak bagi warga negaranya.
Terciptanya manusia-manusia Indonesia yang berhasil dengan membuktikan kontribusi nya untuk membangun negara ini merupakan implikasi dari proses pendidikan yang baik, namun tidak banyak manusia-manusia seperti itu, begitupun dengan manusia-manusia yang hanya bertindak secara egois dengan memprioritaskan diri sendiri dan golongan menggunakan kecerdasannya merupakan implikasi dari proses pendidikan yang gagal menjadikannya sebagai manusia sejati.
Perlu kita ketahui bahwa terdapat hal yang lebih substansial lagi yang perlu kita sadari mengenai proses pendidikan di Indonesia yang selama ini telah mengakar menjadi budaya dalam pendidikan kita.
Pendekatan Critical Pedagogy
Tulisan ini akan sedikit berkiblat kepada pemikiran Paulo Freire mengenai Pendidikan. Pendidikan, menurut Freire, ditujukan untuk humanisasi diri dan sesama, melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Pendidikan kaum tertindas, begitulah filsafat pendidikan Freire dikenal. Dalam rangka menuju pembebasan dan humanisasi diri, maka Freire melihat penyadaran (conscientizacao) sebagai inti dari pendidikan.
Freire dalam teorinya membagi penyadaran dalam tiga kategori yaitu kesadaran magis, naïf, dan kritis (pramono, 131). Kesadaran magis adalah kesadaran yang melihat suatu faktor di luar manusia (natural atau pun supranatural). Kesadaran naïf adalah kesadaran yang melihat suatu faktor berada dalam diri manusia sendiri. Kesadaran kritis adalah kesadaran yang melihat suatu faktor dari sistem atau struktur sebagai suatu masalah. Aplikasi di bidang pendidikan dari kesadaran kritis ini lah yang kemudian memunculkan pendekatan critical pedagogy dengan dipelopori oleh Henry Giroux.
Pendekatan critical pedagogy ini menekankan pentingnya proses dialogis-kritis dalam proses pendidikan, mampu memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Oleh karena itu proses dialogis-kritis menjadi hal mutlak dalam pendekatan critical-pedagogy. Pendidik dalam pendekatan ini diakatakan sebagai critical educator yang secara kritis mempertanyakan kultur yang telah mapa atau dominan untuk selanjutnya dilakukan analisis politik.
Dengan menerapkan pendekatan ini, kita dapat kembali kepada persepktif awal pendidikan yaitu “membangun pengetahuan” bukan “transfer pengetahuan”. Oleh karena itu, kemampuan seorang pendidik menjadi hal mutlak yaitu mampu menganalisis secara sistem yang ada secara politis, mampu memahami kultur yang mapan saat itu, untuk selanjutnya berani menantang wilayah pengetahuan yang mapan untuk membangun pengetahuan baru.
Melalui pendekatan ini lah, kita akan memasuki ruangan paling substansial dari pendidikan. Reformasi pendidikan yang dicita-dicitakan bukan mustahil dapat tercapai untuk kemajuan peradaban Negara Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)