MASIH ADAKAH “PANCASILA” ?
Hari ini tanggal 1 Juni 2015 diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Sedikit menilik belakang, bagaimana Ir Soekarno melalui proses panjang untuk membangun dasar untuk negara Indonesia yang tentunya sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia sendiri.
Masih juga teringat dalam benak kita ketika presiden pertama kita membacakan Pancasila di sidang PBB yang dihadiri oleh kepala-kepala negara dunia. Betapa takjubnya mereka dengan dasar negara Indonesia ditambah lagi lantangnya Ir. Soekarno saat membacakan dasar negara kita. Saat ini pancasila telah berusia 70 tahun, di usianya yang sekarang ini harusnya Pancasila telah tertanam dalam benak bangsa Indonesia dan telah menjadi ideology nasional yang mampu mengguncangkan dunia karena tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun,
realitas bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh para pendiri negara
kita. Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh media KOMPAS pada tanggal
27-29 Mei 2015 menunjukkan bahwa elite politik kita masih jauh dengan apa yang
diintisarikan oleh Pancasila. Sekitar 75 % menyatakan bahwa elite-elite politik
selama ini belum sesuai dengan nilai-nilai pancasila dalam menyelesaikan
persoalan publik. Kemudian, praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
negara kita menjadi hambatan terbesar yang diperkirakan publik bakal menjadi
ancaman bagi keberadaan ideology Pancasila. Publik menilai sikap koruptif dua
kali lipat lebih berbahaya ketimbang cenderung menguatnya fanatisme agama dan
kelompok yang belakangan juga menonjol. Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam pemberantasan korupsi malah bertubi-tubi mendapat perlawanan. Dalam
kasus terbaru, KPK kalah dalam tiga kasus praperadilan, kasus terakhir
praperadilan mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo (26 Mei
2015).
Saat
ini publik melihat pengamalan pancasila adalah persoalan perspektif elite
penyelenggara negara. Sistem penyelenggaraan hukum, ekonomi, politik, dan
sosial yang tidak pancasilais menjadi acuan utama publik dalam menilai
eksistensi antara gagasan ideology nasional dan interpretasinya di tingkat
masyarakat bawah. Semakin jauh jarak gagasan ideal Pancasila dan realisasi di
tataran perilaku, makin buruk penilaian publik.
Ada
pendapat mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideology negara merupakan suatu
pandangan yang sudah final, bahkan akhir-akhir ini disebut sebagai pilar
pertama politik kebangsaan Indonesia, perlu juga diketahui bahwa pancasila
bukanlah pilar negara ini tetapi Pancasila adalah dasar negara Indonesia yang
hendaknya direalisasikan sesuai nilai dan normanya. Sementara itu, dengan
meminjam pengertian Francis Fukuyama, Pancasila adalah suatu “the end of
history”, sebagai puncak perkembangan pemikiran bangsa yang sudah menjadi
paradigm pemikiran, artinya telah mendapat persetujuan dari komunitas akademis
yang menjadi dasar legitimasi, kritik, maupun rekayasa sosial. Namun, karena
dianggap final, Pancasila seakan-akan tak bisa diutak-atik oleh pemikiran
kritis. Boleh dibanggakan, tapi tak boleh dikritik. Pancasila telah menjadi
“ideology tertutup”. Karena tabu dibicarakan dalam pemikiran kritis yang
melahirkan proses dialektika, sementara Indonesia dan dunia terus mengalami
perkembangan pesat, namun sayangnya Pancasila tidak dapat mengikutinya.
Pancasila menjadi terputus oleh suatu realitas, dan hanya menjadi konsepsi.
Alhasil Pancasila menimbulkan kesan seolah-olah tidak lagi hadir sebagai solusi
berbagai permasalahan masyarakat Indonesia.
Oleh
karena itu, konsepsi Pancasila perlu untuk dihadirkan dan direalisasikan
kembali di tengah-tengah masyarakat khususnya pejabat-pejabat politik yang
selama ini kehilangan ideology Pancasila. Sebagai ideology nasional, Pancasila
sebaiknya perlu kita kembalikan dalam meja-meja diskusi kita mahasiswa kaum
intelektual untuk kembali direalisasikan dalam kehidupan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar