Patologi Aparatur Sipil Negara
Pagi
ini Senin (18/01/2016) pukul 7.15 WIB saya sampai di kantor dinas kependudukan
dan pencatatan sipil Kabupaten Pamekasan.
Saya bermaksud untuk melakukan perekaman foto dan sidik jari dalam rangka pembuatan e-ktp. Pukul 7.30 saya masuk ke ruangan perekaman untuk menyetorkan Kartu Keluarga (KK) dan mengambil antrian pertama. Hal ini saya lakukan dengan harapan urusan e-ktp dapat segera rampung karena saya harus bertolak ke Surabaya sepagi mungkin.
Saya bermaksud untuk melakukan perekaman foto dan sidik jari dalam rangka pembuatan e-ktp. Pukul 7.30 saya masuk ke ruangan perekaman untuk menyetorkan Kartu Keluarga (KK) dan mengambil antrian pertama. Hal ini saya lakukan dengan harapan urusan e-ktp dapat segera rampung karena saya harus bertolak ke Surabaya sepagi mungkin.
Namun,
hal ini diluar perkiraan saya karena ketika masuk menyetorkan KK dan mengambil
antrian, kondisi ruangan masih belum siap untuk memberikan pelayanan e-ktp. Belum
lagi petugas yang mengurusi perekaman e-ktp baru datang sekitar pukul 8.00 WIB
membuat proses pelayanan menjadi molor dan membuat antrian masyarakat semakin
bertambah. Bahkan, ada salah satu masyarakat yang mengeluhkan kepada saya
mengenai kemoloran waktu pelayanan e-ktp ini. Dengan nada sedikit tinggi dan
rasa terburu-buru seperti ingin segera memperoleh pelayanan. Akhirnya, sekitar
pukul 8.15 WIB, nama saya dipanggil oleh petugas untuk melakukan perekaman
karena saya antrian pertama.
Ilustrasi
diatas menunjukkan permasalahan kecil dan sepele yaitu “terlambat”. Secara
tersurat, permasalahan tersebut bukanlah masalah berarti atau masalah urgent.
Namun, ilustrasi diatas merupakan salah satu masalah dari sekian banyak masalah
dalam birokrasi pemerintahan di Kabupaten Pamekasan. Permasalahan “terlambat”
yang dipandang kecil oleh sebagian besar masyarakat, namun berdampak besar bagi
kehidupan nyata. Besar dampaknya ketika hal ini menjadi rutinitas dan budaya
dalam kehidupan birokrasi pelayanan publik.
Gejala
ini merupakan salah satu bentuk “patologi’ birokrasi yang masih menghinggapi
budaya birokrasi pemerintahan di Indonesia. Sumber daya aparatur selaku
pelaksana pelayanan publik tentunya harus menyadari ini sebagai kebiasaan yang
perlu diperbaiki. Sehingga, budaya birokrasi menjadi lebih baik ketika
perubahan dimulai dari hal-hal kecil. Karena yang menjadi pertanyaan, bagaimana
kita mau mereformasi pelayanan publik apabila hal-hal kecil sekalipun seperti
tepat waktu bisa terwujud.
Kedisiplinan aparatur sipil negara
Seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Renald Kasali, Ph.D dalam bukunya yang berjudul
“Self-Driving, disiplin bukan rutinitas tapi disiplin adalah komitmen. Meski
sesuatu berubah, kalau kita telah berkomitmen, maka kita akan selalu siap
menghadapi dan memenuhinya. Artinya, budaya tepat waktu merupakan salah bentuk
disiplin terhadap waktu. BUdaya ini lah yang selama ini hilang dalam kehidupan
aparatur sipil negara kita. Tepat waktu dapat terjadi hanya jika terdapat
inspeksi mendadak oleh bapak Bupati.
Instansi
pemerintahan sebagai penyelenggara pelayanan publik tentunya memiliki SOP
(Standar Operasional Prosedural) termasuk dalam hal yang kecil yaitu kedatangan
aparatur. Apalagi hal ini berkaitan dengan pelayanan publik. Menurut Kotler and
Bloom (1984) dalam (Pramuka, Gatot : 2008) pelayanan adalah setiap kegiatan
yang menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada produk fisik.
Reformasi
birokrasi di Indonesia memfokuskan diri pada keorganisasian, ketatalaksanaan,
dan sumber daya aparatur yang professional (Mariana, Paskarina, dan Nurasa :
2008). Sumber daya aparatur menjadi salah satu kunci reformasi birokrasi di
Indonesia. Oleh karena itu, tepat waktu merupakan bentuk profesionalisme
aparatur birokrasi. Kinerja aparatur yang demikian yang seringkali menjadi
penghambat proses pembangunan di Indonesia.
Program Jangka Panjang Reformasi
Birokrasi
Sesuai
dengan program jangka panjang reformasi birokrasi di Indonesia yang bergulir
sejak tahun 2005, telah mencapai tahap ketiga. Tahap ketiga dimulai tahun 2016
sampai 2020, pada periode ini merupakan pemantapan pembenahan keorganisasian,
ketatalaksanaan, dan sumber daya aparatur yang telah dilakukan sebelumnya.
Pada
pemantapan pembenahan sumber daya aparatur, periode ini dilakukan melalui pelembagaan
etika pemerintahan sebagai aturan main dalam perilaku dan kinerja birokrasi
yang professional. Periode ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk
mempertegas kembali standar prosedur pelayanan kepada para aparatur sipil
negara. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki sistem kinerja aparatur sipil
negara untuk memiliki mental mengabdi kepada masyarakat, bukan sekadar kerja
untuk memperoleh gaji setiap bulannya. Perubahan mindset tentang aparatur sipil
negara yang harusnya menjadi titik poin reformasi birokrasi pada tahap ketiga
ini.
Komentar
Posting Komentar