Urgensi Pendidikan Sejarah Bangsa

Lembaga Ketahanan Nasional RI memberikan gambaran wajah Indonesia di tahun 2045 melalui 4 skenario nya, skenario Mata Air (Kompas,15/2), skenario Sungai (Kompas, 16/2), scenario kepulauan (Kompas, 17/2), scenario Air terjun( Kompas, 18/2).
Dari keempat scenario tersebut yang menarik untuk saya bahas lebih dalam adalah scenario ketiga yaitu scenario Kepulauan.
Ketua tim penyusun, Panutan S Sulendrakusuma menjelaskan bahwa Skenario Kepulauan adalah scenario yang disusun dengan mempertimbangkan aspek geopolitik dalam membuat narasi Indonesia 2045. Beliau juga berpendapat bahwa cara bernegara orang Indonesia di tahun 2045 berubah. Rasa hormat dan bangga atas sejarah bangsa tidak lagi menjadi motivasi pemuda untuk memajukan peradaban bangsa dan negara.
Permasalahan ini lah yang menjadi perhatian penting bagi kita para pemuda dalam menyambut tahun emas 2045 kemerdekaan Indonesia. Benarkah Pemuda Indonesia di tahun 2045 memimpin negara ini tanpa dilandasi rasa cinta terhadap tanah air. Jawabannya ada di dalam diri masing-masing pemuda saat ini. Buku John W Gardner berjudul Can we equal and excellent Too. Salah satu kalimat yang perlu kita maknai dalam buku tersebut adalah “Tidak ada negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan dan peradaban”.

Keyakinan Pemuda saat ini
Apa yang diyakini pemuda kini akan menentukan gambaran wajah Indonesia di tahun 2045. Keyakinan yang dimaksud adalah cita-cita dan harapan terhadap kemajuan peradaban bangsa dan negara. Cita-cita dan harapan ini lah yang menjadi penuntun bagi kita para pemuda dalam setiap langkah dan keputusan hidup. Cita-cita dan harapan ini lah yang menjadi modal bagi pemuda untuk berkontrbusi untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Keyakinan dalam diri pemuda hanya dapat muncul dengan wawasan mengenai bangsa dan kebangsaan, terutama wawasan nasionalisme Indonesia. Bagaimana mungkin kita memiliki keyakinan terhadap sesuatu, namun kita tidak memiliki wawasan akan sesuatu tersebut. Oleh karena itu, kita para pemuda meyakini bahwa di tahun 2045, bangsa Indonesia akan memiliki peradaban yang lebih maju. Tentunya, tidak cukup hanya meyakini, kita harus memiliki wawasan mengenai bangsa, kebangsaan, dan keIndonesiaan. Mengacu pada pandangan tersebut, maka sekolah lah tempat yang paling berperan memberikan wawasan kepada para calon pemimpin Indonesia 2045.

Mempelajari Sejarah Bangsa
Sekolah atau lembaga pendidikan memiliki peran yang vital saat ini. Kepemimpinan bangsa di tahun 2045 sangat ditentukan oleh kondisi pendidikan kita saat ini. Sudah relevan kah pendidikan kita dalam memberikan wawasan kebangsaan dan keIndonesiaan. Sehingga, cukup menjadi bekal kecintaan kita untuk berkontribusi di masa yang akan datang. Wawasan tersebut hanya dapat dipelajari dengan kita mempelajari sejarah bangsa dan negara.
Anand Krisna dalam bukunya berjudul Indonesia Jaya mengatakan bahwa kita mempelajari sejarah, bukan untuk mengulang sejarah, namun untuk belajar dari sejarah demi memperbaiki kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Kita pernah mempelajari mengenai Politik Devide et Impera atau politik adu domba, politik ini digunakan oleh bangsa asing untuk memecah belah kepemimpinan di wilayah nusantara. Peristiwa tersebut merupakan salah satu peristiwa sejarah yang perlu kita maknai dan pelajari sehingga ke depannya Ketahanan Nasional kita tidak akan terpecah belah oleh segala bentuk politik pecah belah yang dilancarkan oleh bangsa asing. Hal ini perlu menjadi prinsip dan pegangan hidup bagi pemuda saat ini.
Oleh karena itu, gambaran wajah Indonesia 2045 sangat ditentukan oleh bagaimana sikap Pemuda menghargai Sejarah Bangsa Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Proklamator dan Presiden pertama RI, Ir. Soekarno “Jas Merah” : Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Hidup Pemuda Indonesia !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)