Siapa sebenarnya yang Miskin ?
Pada
tahun 2016 ini merupakan tahun percepatan pembangunan. Banyaknya
program-program dan proyek-proyek pembangunan khususnya di bidang infrastruktur
fisik menjadi satu alasan mengejar ketertinggalan pembangunan tahun sebelumnya.
Mulai dari proyek pembangunan listrik 35.000 MW, proyek tol laut, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta, proyek jalan tol di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi serta proyek pembangunan lainnya.
Mulai dari proyek pembangunan listrik 35.000 MW, proyek tol laut, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta, proyek jalan tol di wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi serta proyek pembangunan lainnya.
Begitu
pula provinsi Jawa Timur. Sebagai salah satu provinsi terbaik di Indonesia,
tentunya Jawa Timur harus menunjukkan pembangunan yang lebih progresif. Pada
awal bulan April ini baru saja terlaksana Musyawarah Rencana Pembangunan
(Musrenbang) Daerah Provinsi Jawa Timur. Salah satu hasil musyawarah tersebut
yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017 yang berisi “Memacu Pembangunan
Infrastruktur dan Ekonomi untuk Meningkatkan Kesempatan Kerja serta Mengurangi
Kemiskinan dan Kesenjangan antar-wilayah”.
Kemiskinan
lagi dan lagi menjadi persoalan pelik dalam pembangunan Nasional di negeri
kita. Kemiskinan dilihat sebagai salah satu faktor penghambat pembangunan.
Kemiskinan di Indonesia bahkan telah tergolong pada tataran kemiskinan struktural
dan kultural. Di Indonesia, Rakyat miskin terbagi ke dalam dua jenis. Pertama,
Rakyat Miskin menurut Badan Pusat Statistik yaitu orang dengan tingkat
pengeluaran perkapita perbulan sebesar Rp 211.726,- atau sekitar Rp 7.000
perhari. Rakyat miskin pada kategori pertama ini termasuk dalam kemiskinan
struktural. Artinya, Kemiskinan yang terjadi bukan karena ketidakmampuan si
miskin untuk bekerja. Namun, karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial
dalam menyediakan kesempatan-kesempatan kerja bagi rakyat miskin. Kita
mengetahui dalam studi sosiologi bahwa sistem atau struktur sosial tidaklah
tersusun secara kebetulan, namun karena adanya subjek atau pelaku yang dengan
sengaja menyusun sistem atau struktur sosial ini.
Kedua,
Rakyat ‘Miskin’ yang tinggal di kompleks perumahan mewah, memamerkan mobil sport-nya setiap akhir minggu, shopping
di mall mewah setiap malam minggu, rekreasi ke eropa setiap bulan sekali dengan
menggunakan “uang negara atau uang rakyat”. Kategori inilah yang harusnya masuk
dalam kategori kemiskinan ‘biadab’. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan
miskin adalah tidak berharta; serba kekurangan (kbbi.web.id, diakses tanggal 16
April 2016). Merujuk definisi miskin, menjadi jelas ketika rakyat ‘miskin’
kategori ini melakukan hal-hal tidak berprikemanusiaan. Kategori miskin ini
masuk dalam golongan kemiskinan kultural, yang mana definisi miskin masih
berada dalam budaya hidup mereka dengan dikelilingi harta dan kekuasaan. Mereka
masih merasa serba kekurangan, baik kurang harta, maupun kurang tingginya
jabatan.
Kedua kategori Rakyat
Miskin diatas tentunya menjadi persoalan yang perlu diatasi. Kedua kategori ini
memiliki perbedaan yaitu Rakyat Miskin kategori pertama menjadi faktor
penghambat pembangunan. Namun, lebih parah lagi pada Rakyat Miskin Kategori
kedua yaitu menjadi faktor gagalnya suatu pembangunan. Akhirnya, pemerintah, akademisi,
dan khususnya kita mahasiswa harus bertanggung jawab terhadap adanya realisasi
pembangunan ke arah yang lebih baik. Sehingga, cita-cita nasional kita seperti
yang tercantum dalam pembukaan UUD ’45 “…negara
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur…” bukan tidak mungkin
dapat tercapai. Aminnn.
Komentar
Posting Komentar