Antara GBHN dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional




Pada tahun 2016 ini, isu amandemen UUD ’45 kembali bergulir. Munculnya isu ini ditandai oleh pidato politik Ketua Umum PDIP Ibu Megawati yang menjelaskan urgensi dikembalikannya  GBHN sebagai arah pembangunan Indonesia.
Sebelum reformasi, GBHN merupakan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR RI yang berisi tata kelola penyelenggaraan negara sebagai wujud kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. Dengan adanya amandemen I-IV, yang mana merubah peran MPR dan Presiden berimplikasi pada tidak diberlakukannya kembali GBHN.
Sebagai gantinya, maka disahkanlah UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SIstem Perencanaan Pembangunan Nasional. Berdasarkan UU tersebut, SPPN merupakan satu-kesatuan tata cara perencanaan pembangunan nasional untuk meghasilkan rencana-rencana pembangunan jangka panjang, menengah, dan pendek yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara baik di tingkat pemerintahan pusat sampai daerah. SPPN menandai era baru sistem pemerintahan presidensiil yang tidak lagi menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR.
Sistem Perencanaan Pembangunan nasional dianggap menjadi pola pembangunan terbaik pasca reformasi. Dikatakan terbaik karena telah melalui pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, serta proses yang top-down dan bottom. Berbeda dengan GBHN yang merupakan produk dari MPR sehingga hanya menjadikan pemerintah (lembaga eksekutif) sebagai pelaksana pembangunan. GBHN pun hanya melalui pendekatan politik dan proses yang top-down, tidak melibatkan masyarakat secara partisipatif. Pola Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjadi pola terbaik saat itu dalam memberikan arah pembangunan nasional ke depannya.
Namun, hasil survei media kompas tentang evaluasi arah pembangunan menunjukkan bukti yang kontradiktif akan tidak terarahnya proses pembangunan di negeri ini.  Minimnya penegakan hukum, tumpang tindihnya beberapa kebijakan, buruknya komunikasi dan koordinasi antar lembaga, rendahnya kualitas penduduk tidak diimbangi oleh terus meningkatnya kuantitas penduduk, serta persoalan anggaran negara berkelanjutan menjadi faktor-faktor permasalahan mendasar di negeri ini. Selain itu, pembangunan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi semata tak mengatasi persoalan kesenjangan dan banyaknya penduduk miskin. (Sumber : print.kompas.com, diakses 1 September 2016).
Fakta ini mengasumsikan gagalnya pola SPPN sebagai pola perencanaan pembangunan sehingga perlu diganti oleh produk perencanaan lain. Arah pembangunan yang gagal atau tidak jelas ini juga turut mengakibatkan tidak jelasnya arah kesejahteraan sosial masyarakat.
Tidak jelasnya arah pembangunan Indonesia saat ini bukanlah disebabkan oleh gagalnya SPPN. Namun, karena tidak taatnya para pemimpin negeri ini terhadap janji dan komitmen dalam menggerakkan proses pembangunan. Padahal janji dan komitmen politik mereka sampaikan kepada masyarakat saat kampanye pemilihan pemimpin negeri ini. Ketika terpilih untuk memimpin negeri ini, mereka langgar sendiri janji dan komitmen politik yang mereka buat kepada rakyat. Maka, ketaatan pemimpin terhadap janji dan komitmen merekalah yang membuat arah pembangunan ini menjadi jelas. Bukan karena gagalnya SPPN dan dikembalikannya GBHN.
Pada akhirnya, pola perencanaan pembangunan nasional haruslah memperhatikan tiga aspek yakni, partisipasi masyarakat,  perencanaan yang terintegrasi, dan basis data yang akurat terkini sebagai basis pengambilan keputusan (Sumber : perencanaan.ipdn.ac.id, diakses 1 September 2016).
                                                                                                                                        
Sumber :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)