Belajar dari Penakluk Konstantinopel
dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya
(HR. Ahmad)
Menarik ketika kita mencoba merefleksikan kembali makna sejarah dalam
kehidupan kita saat ini. Sejarah tidak akan terulang kembali, saya kira sangat
sempit pemaknaannya.
Bahwasanya, sejarah akan terulang kembali di masa yang akan datang karena pada faktanya problematika pada setiap pergantian zaman selalu memiliki kisi-kisi yang hampir mirip.
Bahwasanya, sejarah akan terulang kembali di masa yang akan datang karena pada faktanya problematika pada setiap pergantian zaman selalu memiliki kisi-kisi yang hampir mirip.
Mencoba mengingat kembali sebuah wilayah kota di perbatasan Asia dan
Eropa pada masa abad 10-15 dengan segala kemahsyuran didalamnya, serta
pertahanan yang sangat kuat di sekitar wilayahnya, tentu Konstatinopel
tempatnya. Menurut sejarah, konstatinopel didirikan oleh kaisar Romawi
Konstatinus I diatas sebuah kota yang sudah ada sebelumnya, Byzantium, yang
didirikan pada permulaan masa ekspansi colonial Yunani, kemungkinan besar
sekitar 671-662 SM.
Kisah konstatinopel, tentu saja melekat seorang tokoh didalamnya yakni
Sultan Mehmed II atau Muhammad Al-Fatih. Peradaban baru dunia muncul dengan
ditaklukkannya konstatinopel oleh Al-Fatih dan pasukannya yang berjuluk Ghazie.
Al-Fatih dan pasukannya telah mampu
membuktikan bahwa hadits Rasulullah SAW diawal artikel ini adalah benar
kenyataannya.
Dari kisah ini, banyak hal yang bisa menjadi inspirasi bagi banyaknya
pemuda Indonesia saat ini yang sedang mengalami dekadensi moral dan karakter,
serta krisis kepemimpinan. Hadits diawal artikel ini pada dasarnya tidak hanya
merujuk pada seorang Muhammad Al-Fatih dan pasukkannya. Namun, jika kita maknai
lebih dalam bahwa hadits ini juga relevan dengan kondisi kita saat ini.
Konstatinopel sebuah kota yang mahsyur dan pertahanan kota yang kuat,
diibaratkan saat ini sebagai kumpulan
kezaliman, kesesatan, dan keburukan yang sedang menguasai peradaban dunia.
Kezaliman, kesesatan, dan keburukan ini telah menghegemoni masyarakat dunia,
sehingga keberadaannya dianggap benar dan baik keadaannya.
Muhammad Al-Fatih datang hadir sebagai anti-tesis dominasi dunia saat
itu. Dengan pasukannya berjuluk Ghazi, beliau mampu meruntuhkan sebuah
peradaban zalim dan membangun peradaban baru di dunia. Melangkah 7 abad
kemudian, kita pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi yang serupa.
Sekitar 4 tahun lagi, Indonesia akan mengalami momentum bonus demografi, yang
mana penduduk usia muda akan lebih banyak dibanding penduduk usia tua. Momentum
ini juga akan mengurangi angka ketergantungan (dependency ratio) di Indonesia.
Jumlah usia penduduk muda yang banyak menjadikan Indonesia memiliki
potensi untuk membangun peradaban di dunia. Pemuda Indonesia haruslah
dipersiapkan untuk menjadi sebaik-baik pasukan layaknya pasukan ghazi milik
kesultanan Utsmani. Banyaknya pelatihan dan pembinaan di bidang kepemudaan
menjadi salah satu instrumen dalam menyiapkan pemuda-pemuda Indonesia agar
ketika moment itu tiba, kita siap untuk membangun peradaban Indonesia.
Dan terakhir, menjadi refleksi bagi diri kita sendiri bahwa setiap
individu adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Maka, sudah menjadi tanggung
jawab kita untuk mengembangkan potensi kepemimpinan diri sehingga mampu menjadi
sebaik-baik pemimpin. Muhammad Al-Fatih telah menjadi contoh relevan bagaimana
kepemimpinan itu merupakan hasil tempaan. Melihat kapabilitas beliau yang
merupakan hasil tempaan ulama sufi Syekh Aaq Syamsuddin. Maka, bukan tidak
mungkin, Pemuda Indonesia akan menjadi pelopor di masa yang akan datang.
Keruntuhan peradaban lama dan membangun peradaban baru dengan nilai-nilai
Keindonesiaan akan terwujud.
Komentar
Posting Komentar