Kisah dari Kota Mbah Marijan
Bising lalu lintas di perbatasan Provinsi Jogja dan Jawa Timur
menemani perjalanan pulang saya dan kawan menuju kota Pahlawan. Setelah sekitar
2 hari bertamu di Mbah Marijan dalam acara Inspiring Youth Leadership Forum
(IYLF) Rumah Kepemimpinan.
Acara ini diikuti oleh peserta beasiswa Rumah Kepemimpinan regional Jogja, Surabaya, dan Makassar. Tepatnya di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DIY.
Acara ini diikuti oleh peserta beasiswa Rumah Kepemimpinan regional Jogja, Surabaya, dan Makassar. Tepatnya di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DIY.
Desa Wukirsari terletak di kaki Gunung Merapi, bahkan lokasi yang
sedang kami tempati dulunya merupakan lokasi pengungsian korban bencana erupsi
gunung berapi berapa tahun silam. Namun, tidak seperti yang dibayangkan daerah
bekas bencana alam, Desa Wukirsari tetap mampu menyajikan keasrian desa kepada
kami yang selama ini hidup di hiruk pikuk padatnya perkotaan. Mulai dari
bentangan persawahan, air dan udara yang
sejuk, sampai pemandangan gunung merapi dari jarak yang cukup dekat.
Pagi hari sembari menunggu datangnya pemateri di hari kedua ini,
saya menikmati seduhan kopi susu hangat di warung yang terletak tidak jauh dari
lokasi kegiatan. Sama dengan kegiatan pelatihan pada umumnya, kegiatan ini
diisi oleh berbagai pemateri yang sebenarnya sangat bermanfaat. Namun, entah
kenapa selama satu hari kemarin, saya belum bisa mendapat manfaat apapun. Ada
yang salah dengan diri ini ketika datang menghadiri kegiatan. Setelah lama
merenungi kesalahan ini, disertai dengan bumbu penyesalan. Saya pun memperbaiki
niat yang selama ini hanya ingin menuntaskan kegiatan wajib beasiswa, menjadi
manusia dahaga ilmu.
20 menit kemudian, saya pun balik menuju lokasi kegiatan. Dengan
niatan yang benar ini, saya kembali berdo’a semoga di detik-detik terakhir ini,
saya mampu mengambil hikmah sekecil apapun itu. Benar saja ketika sampai di
pemateri terakhir, pada saat bedah buku “Musafir Biker”. Penulis buku ini
benar-benar mengajarkan arti kehidupan kepada kami. Bahwasanya apapun yang
kalian lakukan, sekecil apapun itu, maknailah sebagai suatu ibadah karena Allah
SWT. Pesan ini benar-benar mengetuk saya, dengan status mahasiswa dan
kepemimpinan di kampus. Namun, masih jarang memaknainya sebagai suatu ibadah.
Sedikit orang-orang di dunia ini yang mampu memaknai kehidupan.
Sekecil apapun itu, dimanapun tempatnya, siapapun itu, sebagai seorang
pemimpin, kita harus memaknai segala fenomena dalam kehidupan kita.
Komentar
Posting Komentar