Masihkah Malu Pemimpin Kita ?



Integritas kepemimpinan negeri ini kembali diuji, dengan diresmikannya kembali Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI tertanggal 30 November 2016. Setelah selama setahun kemarin diganti oleh Ade Komaruddin, karena kasus pelanggaran kode etik. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Dave Laksono, kembali majunya Setya Novanto merujuk pada keputusan  MK dan MKD yang menyatakan alat bukti illegal, sehingga kedua lembaga tersebut tidak menjatuhkan hukuman apapun kepada Bapak Setya Novanto (Sumber : bbc.com, diakses 1 Desember 2016). Namun, alasan tersebut belum mewakili penilaian publik selaku komunitas yang direpresentasikan oleh lembaga tinggi negara ini.
Politik Praktis dimaknai segala sesuatunya menjadi praktis pula, sehingga menggampangkan sesuatu yang sebenarnya sangat substansial, yakni etika dan keteladanan. Tulisan ini tidak akan menguraikan bagaimana proses politik yang terjadi antara partai politik yang katanya penyambung lidah rakyat dan DPR RI yang katanya mewakili rakyat. Namun, tulisan ini akan mencoba mengangkat kembali persoalan “budaya malu” dalam konteks kepemimpinan di Indonesia.  
Malu menurut KBBI adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb) (Sumber : kbbi.co.id, diakses tanggal 1 Desember 2016). Malu merupakan keniscayaan dalam setiap individu manusia, namun ukuran malu berbeda-beda antar individu. Budaya malu merupakan nilai, konsepsi, sikap, dan tindakan malu yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, “malu” berada dalam tempat dan waktu yang tepat.
Konteks Setya Novanto juga menunjukkan bagaimana budaya malu dibangun dalam konstelasi politik nasional. Keputusan untuk kembali menjadi Ketua DPR RI setelah sebelumnya ketidaketisannya dalam  kasus #papamintasaham diketahui oleh publik. Sebagai representasi rakyat, penilaian rakyat pun kurang diperhatikan dalam pengambilan keputusan tersebut. Terjadi gap antara rakyat dan wakil rakyat dalam pengambilan keputusan tersebut.
Membangun Budaya Malu
Indonesia telah mencapai usia 71 tahun. Di usia yang sudah matang ini, tentunya praktik berpolitik juga menunjukkan kematangannya. Kepemimpinan nasional harus mencontohkan teladan baik. Sehingga dari sinilah lahir figur-figur ideal yang pantas memimpin negeri ini.
Membangun budaya malu pada diri seorang pemimpin menjadi hal yang mutlak dimiliki. Karena pada sisi inilah, pemimpin dikatakan telah selesai dengan dirinya sendiri. Budaya malu dapat terbentuk dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang matang pula.
Apa yang dicontohkan oleh para pemimpin nasional saat ini, hendaknya menjadi pelajaran bagi kita ke depannya. Karena 10-20 tahun lagi, kita lah yang akan menempati posisi mereka. Menjadi figur dan teladan yang baik menjadi poin utama proses kepemimpinan di negeri ini. Termasuk membangun budaya malu. Sesuai dengan pepatah bahwa keteladanan hari ini adalah kepemimpinan di hari esok.

Sumber :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)