Peran Politik Masyarakat Adat di Indonesia


Sumber Gambar : http://www.netralnews.com/foto/l/35517690330-foto_adat.gif

 
17 Agustus 1945 menjadi saksi telah berdirinya suatu negara baru bernama Indonesia. Proklamasi kemerdekaan berjalan secara khidmat. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta mewakili berbagai macam suku bangsa  untuk bersama, berkomitmen, dan “berumah tangga” dalam ikatan kenegaraan.
Dan beberapa tahun terakhir ini, ikatan tersebut mengalami banyak guncangan. Utamanya yaitu bagaimana negara mampu hadir dalam tata kehidupan masyarakat adat yang mewakili suku bangsanya masing-masing. Bahkan, hukum negara belum mampu untuk mengakomodir hukum masyarakat adat di Indonesia. Sehingga, seringkali terjadi konflik pertentangan antar kedua jenis hukum tersebut.
Salah satu yang ramai diperbincangkan yakni akan dibangunnya proyek kebun pangan dan energi secara terintegrasi di wilayah Merauke. Proyek raksasa bernama MIFEE yang diresmikan pada tahun 2010 bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun kenyataannya menghasilkan sejumlah konflik antara pihak korporasi dan masyarakat adat. Ditambah lagi, konflik tersebut memberi peluang bagi perusahaan perkebunan sawit dan tebu untuk masuk (Sumber : awasmifee.potager.org, diakses 4 April 2017).
Secara anthropologis, masyarakat merauke menggantungkan hidupnya pada wilayah hutan. Makanan pokok masyarakat merauke yakni sagu, hanya bisa didapatkan di wialayah hutan yang sekejap akan berubah menjadi sawah seluas 1,2 juta ha. Apa artinya menguatkan pangan nasional, namun mengorbankan masyarakat adat sekalipun itu minoritas. Bahkan masyarakat tidak dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan program MIFEE tersebut. Sehingga, hal ini lah yang menjadi fokus saya.
Meminjam istilah dalam buku berjudul “Mengapa Negara Gagal – Awal Mula”. Adanya kesenjangan kemakmuran disebabkan oleh institusi ekonomi yang ekstraktif. Agar tercipta keseimbangan maka Institusi ekonomi inklusif-lah jawabannya. Untuk membangun institusi ekonomi inklusif, maka dibutuhkan institusi politik yang baik pula. Artinya, tercipta sebuah sistem yang bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. 

Analisa Stakeholder
Di dalam konteks program pembukaan lahan sawah 1,2 juta ha tersebut tentunya perlu melibatkan institusi politik lokal yakni masyarakat adat. Proses perumusan kebijakan pun menjadi kunci bagi adanya partisipasi politik masyarakat adat. Menurut analisa stakeholder penulis, proses perumusan program ini hanya mengakomodir dua pihak stakeholder, yakni stakeholder power dan stakeholder interest. Stakeholder “Power” dengan pihak pemerintah. Stakeholder “Interest” dengan pihak korporasi. Namun, mengabaikan stakeholder “influence” dengan tokoh adat dan tokoh masyarakatnya.
Pada dasarnya, pengakuan dan penghormatan masyarakat adat telah bergulir sejak beberapa tahun yang lalu. Bahkan, telah berbentuk Rencana Undang-undang yang siap disahkan. Selain itu, adanya UU Desa yang mana di dalamnya tercantum tentang Desa Adat belum mampu untuk memperkuat eksistensinya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana perundang-undangan.
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, namun nasib masyarakat adat belum banyak diperhatikan. Utamanya dalam aspek sosial-politik. Jika pembangunan ekonomi nasional tetap berlanjut dan mengabaikan peran politik masyarakat adat. Secara implisit, pasal 18B ayat 2 UUD 1945 telah dilanggar, yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati masyarakat kesatuan-kesatuan mayarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”.  

Referensi :
·         Acemoglu, Daron dan James A. Robinson. 2014. Mengapa Negara Gagal – Awal Mula. Elex Media Komputindo : Surabaya.
https://awasmifee.potager.org/?p=1210&lang=id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)