Budaya Madura dan 5 Hari Bersekolah
*) Diterbitkan dalam kolom Opini Koran Kabar Madura edisi 14 Juli 2017
Sumber : fotogambar2.blogspot.com |
Beberapa bulan terakhir ini, media sedang ramai memperbincangkan
pro-kontranya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017
tentang Hari Sekolah. Mendikbud secara lisan menyampaikan bahwa kebijakan ini
adalah sebagai bentuk Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) di sekolah. Penulis
sepakat bahwasanya pendidikan apapun itu bentuknya haruslah untuk menguatkan
karakter para peserta didik.
Kontra dengan apa yang disampaikan mendikbud, penulis tidak menemukan
alasan yang jelas tentang pendidikan karakter. Yang penulis temukan justru
adalah penjelasan detail tentang lamanya berada di sekolah, bahkan sampai
lamanya jam istirahat juga didetailkan di dalam pasal 2 ayat (2) hingga ayat
(4). Selain bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional, hal ini juga
sedikit kontradiktif dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bahwa bidang pendidikan diatur oleh pemerintahan daerah baik itu provinsi atau
kabupaten/kota. Alasannya, karakteristik siswa/i di Indonesia yang beragam menjadikan
intervensi pendidikan yang tidak sama antar daerah. Terdapat kearifan lokal
yang menjadi landasan dalam penentuan sistem pendidikan di daerah-daerah di
Indonesia.
Madura sebagai salah satu suku bangsa terbesar ke-4 se-Indonesia
juga menyimpan kearifan lokal pendidikan yang unik. Kearifan lokalnya bukan
hanya berkaitan dengan produk kebudayaan seperti seni membatik, karapan sapi,
tarian tradisional. Namun, cara pandang masyarakat madura terhadap kehidupan
yang unik. Hal ini penting agar menjadikan cara pandang ini sebagai titik tumpu
bagi sistem pendidikan di Madura. Budaya masyarakat Madura dengan kultur agama
Islam yang kuat menjadi kombinasi yang relevan untuk diterapkan. Falsafah Bhappa’
Babbu’, Guru, Rato perlu kita revitalisasi dalam rangka
menghadirkan pendidikan yang sesuai dengan kearifan lokal Madura.
Bhappa’
Babbu’
Prinsip Birrul Walidain benar-benar menjadi pegangan. Birrul
Walidain merupakan bagian dari etika Islam yang mewajibkan kita sebagai
anak untuk selalu berbakti kepada kedua orangtua. Sekalipun antara orangtua dan
anak memiliki kepercayaan yang berbeda, namun kewajiban berbakti tetap yang
utama.
Pada bagian ini, kita belajar dari orangtua kita. Apakah lantas
orangtua yang berpendidikan rendah, tidak mampu memberikan pelajaran bagi
anaknya, tentu saja tidak. Tak pantas bagi anak untuk merasa superior, karena
prinsip ini kemudian berlaku ridha Allah terletak pada ridha Orangtua.
Belajarlah dari orangtua kita tanpa melihat latar belakang apapun pada orang tua
kita. Belajarlah karena kelak kita sebagai anak juga akan menjadi orangtua dan
memiliki anak. Pada titik inilah proses belajar agar menjadi lebih baik.
Adanya kebijakan 5 hari sekolah lantas akan membatasi ruang
interaksi anak dan orangtua, belum lagi jika si anak mengikuti kursus tambahan
pada sore atau malam harinya. Praktis, siswa akan merasa terbebani oleh 5 hari
bersekolah tersebut. Mengembalikan paradigma bahwa orangtua adalah pendidik
yang pertama dan utama menjadi penting untuk dipertimbangkan terkait kebijakan
5 hari sekolah.
Guru
Guru adalah
orangtua kita di sekolah. Seperti sudah mulai mengalami pergeseran, sejak
masifnya siswa yang melaporkan sikap gurunya kepada kepolisian hanya karena
mencubit, menjewer kuping, dan lainnya. Orangtua macam apa yang sampai
dilaporkan ke polisi oleh anaknya sendiri. Akhirnya, guru-guru pun mulai abai
dan membiarkan para siswanya yang nakal.
Akhir-akhir ini, publik tengah diramaikan oleh kebijakan sekolah 5
hari oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Niat baik pemerintah pusat
untuk menguatkan pendidikan karakter, namun bertentangan dengan UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa bidang pendidikan menjadi tugas
dan kewenangan pemerintahan daerah. Alasannya karena setiap daerah memiliki kearifan
lokal masing-masing, begitu pula dengan intervensi pendidikan yang diberikan.
Dalam konteks lembaga pendidikan, masyarakat madura mengenal
sekolah dan madrasah. Pagi hari masuk di sekolah dan sore sampai maghrib masuk
di madrasah. Kebijakan 5 hari sekolah membuat sentralistiknya peran sekolah,
dan mengabaikan peran madrasah. Padahal, madrasah tumbuh dan berkembang lebih
dahulu bersamaan dengan akulturasi masyarakat madura dulu dengan Islam.
Sehingga, ini menjadi poin penting untuk diperhatikan.
Rato
Rato atau pemimpin
merupakan orangtua masyarakat. Ketika pemimpin suatu wilayah buruk, maka bisa
dipastikan masyarakatnya pun juga buruk. Sebaliknya, jika pemimpin mampu
memberikan teladan yang baik, maka bisa dipastikan masyarakatnya akan baik
pula. Begitu pula saat ini, jika kita menyaksikan masyarakat yang bobrok, maka
coba kita periksa pemimpin kita. Jangan-jangan ada kezaliman yang dilakukannya.
Pada bagian ini, kita belajar kepada pemimpin kita. Kita coba tarik
lebih luas yaitu “kepemimpinan” pemimpin kita. Kepemimpinan yang mendidik
sehingga melahirkan masyarakat yang mendidik, bukan hanya terdidik. Terdidik
hanya menjadikan masyarakat sebagai objek, namun mendidik menjadikan masyarakat
sebagai subjek dan objek.
Disinilah
hulu pendidikan kearifan lokal masyarakat madura berasal. Sehingga ketika
ketiga aktor ini (bhappa’ babbu’, guru, rato) sama-sama bergerak, maka
bukan tidak mungkin Madura yang lebih dan bermartabat akan terwujud.
Komentar
Posting Komentar