Kasus Papa Setnov : Otokritik Manusia Indonesia


Gambar terkait



Putusan sidang praperadilan kasus e-KTP akhirnya dimenangkan oleh kubu Setya Novanto. Bukan kasus megakorupsi e-KTP yang membuat publik terkejut. Namun, lolosnya beliau dari jeratan hukum untuk kesekian kalinya yang membuat public gerah dengan pimpinan DPR kita yang satu ini.
Sejak diangkat menjadi ketua DPR RI pada tahun 2014, total Setya Novanto mencatat sejumlah riwayat kontroversi. Mulai dari kasus Papa Minta saham kepada PT Freeport Indonesia. Kemudian, kembali naiknya Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI setelah divonis karena dianggap melanggar kode etik DPR. Dan baru ini, kasus e-KTP kembali menyeret dan lagi-lagi beliau lolos dengan mekanisme siding pra-peradilan. Putusan hakim pra-peradilan dinilai oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) memudahkan para koruptor untuk lolos dari jeratan hukum (Sumber : nasional.kompas.com, diakses 1 oktober 2017).       
Riwayat kasus Setya Novanto membuat rakyat seakan melihat parodi pemimpin di negeri ini. Rakyat dibuat terheran sambil mengerutkan kening melihat acting pimpinan legislatif yang satu ini. Namun, sebagai masyarakat bijak tidak layak tentunya kita melimpahkan kesalahan dan dosa kepada pemimpin kita ini.
Saya mulai dengan argumentasi dasar bahwasanya “Pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya”. Pemimpin dan rakyat yang dipimpin ibarat dua mata uang koin, keduanya saling berdampingan. Mengutip salah satu tulisan Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, seorang ahli fiqih bermazhab Hambali bahwa jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian ini pula akan terjadi pada pemimpinnya (Sumber : rumaysho.com, diakses 1 oktober 2017).
Ketika kita melihat “tipu muslihat” Setya Novanto dalam beberapa kasus yang divonis kepadanya. Maka, bisa dipastikan mayoritas rakyat Indonesia secara tidak sadar juga memiliki “tipu muslihat”dalam kehidupannya. Kita memiliki kecenderungan menghindari diri dari kesulitan dan kesusahan dengan berbagai cara dan alasan. Tak ada bedanya mungkin dengan yang Setnov lakukan saat ini, bedanya konteks besaran kasusnya saja.
Jika kita ditilang polisi karena dianggap melanggar lalu lintas. Maka, kecenderungan yang akan kita lakukan adalah dengan mencari-cari alasan agar kita dianggap tidak bersalah. Jika belum cukup, maka kita akan mencoba untuk menyuap si bapak polisi. Kemudian, di kampus. fenomena “titip absen” mahasiswa mungkin bisa menjadi cermin cembung kasus proyek “papa minta saham”. Maka tidak salah ketika pak setya novanto bertindak seperti itu, karena di kampus pun saat ini, fenomena “mahasiswa titip absen” masih merajalela.     
Mochtar Lubis dalam bukunya berjudul Manusia Indonesia menyinggung beberapa sifat manusia Indonesia. Salah satunya yaitu segan dan enggan bertanggung jawab. Selalu menunjuk orang lain serta enggan menunjuk dirinya sendiri. Menunjukkan kesalahan orang lain, namun enggan menunjukkan kesalahan diri sendiri (Sumber : nationalgeographic.co.id, diakses 1 oktober 2017). Walaupun buku beliau sempat dikritik, salah satunya oleh Margono Djojohadikusumo, Begawan ekonomi nasional dan pendiri Bank Indonesia. Namun, disisi lain banyak pihak yang bersepakat karena nyatanya sampai hari ini sifat-sifat tersebut masih melekat dalam mayoritas kehidupan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, tidak selamanya kesalahan patut kita curahkan kepada pemimpin kita. Adakalanya kita sebagai rakyat yang sadar perlu introspeksi diri mengenai kondisi kehidupan masyarakat di sekitar kita. Sehingga dari sinilah, kita mulai berani bertindak untuk mengubah lingkungan di sekitar kita menjadi lebih baik. Kita yang ada di desa bergerak melalui karang taruna, kita yang ada di kampus bergerak melalui organisasi mahasiswa, kita yang ada di perkotaan bergerak melalui komunitas, serta gerakan-gerakan kebaikan lainnya yang perlu kita galakkan.

Sumber :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)