Menggenggam Mastatho'tum



Sumber Gambar : http://www.radiosilaturahim.com/tajuk/mastathotum/

Seorang santri mengeluh kepada pak kyai nya, kenapa dirinya selalu saja mengalami hambatan setiap kali memiliki hajat atau keinginan. Tanpa banyak menjelaskan, pak kyai nya pun mengajak seorang santri ini ke lapangan sepak bola, dan mengajaknya untuk bertanding mengelilingi lapangan sepak bola tersebut. Singkat cerita, pak kyai dan seorang santri tersebut pun mengelilingi lapangan sekuat tenaga, sampai si santri tersebut kelelahan dan menepi. Namun tidak dengan pak kyai yang terus berlari sekuat tenaga sampai akhirnya ia pingsan di pinggir lapangan. Melihat pak kyai nya pingsan, si santri tersebut pun menandu dan menunggu hingga pak kyai nya sadar. Setelah itu, pak kyai pun sadar dan langsung berkata “inilah mastatho’tum”. Mastatho’tum secara makna bahasa adalah semampunya atau sebisanya. Kata ini terdapat dalam QS At-Taghabun ayat 16 yang dikorelasikan dengan taqwa.  
Mastatho’tum adalah sikap pantang menyerah dan terus berusaha sekuat tenaga sampai Allah SWT lah yang menghentikan. Setiap manusia pasti memiliki keinginan atau cita-cita, namun tak banyak yang menerapkan mastatho’tum dalam proses mencapai cita-citanya. Hakikatnya mastatho’tum adalah memotivasi diri atau seseorang untuk berusaha dengan segala kesanggupannya hingga Allah SWT yang mengakhiri kesanggupan kita. Dengan tujuan agar seseorang tidak menyerah di tengah jalan atau malas dalam berusaha apalagi sampai berputus asa dari rahmat Allah SWT.
Kemalasan dan mudah menyerah adalah penyakit yang seringkali melanda para pemimpi. Baru satu atau dua kali mengalami kegagalan di suatu bidang, secara tak sadar, kita langsung menjustifikasi diri kita bahwa kita tidak pandai di bidang tersebut. Bahkan yang lebih parah adalah ketika kita baru saja membayangkan kesulitan-kesulitan yang akan kita alami ketika mengejar suatu impian, kita sudah merasa tidak bisa dan menyerah serta menurunkan standar impian kita. Padahal, Bung Karno pernah berkata,”Gantunglah cita-citamu setinggi langit, kalaupun jatuh, ia akan jatuh diantara bintang-bintang”. Jika standar impianmu tinggi, maka ketercapaian impian tersebut setidaknya mendekati standar yang telah engkau targetkan. Makna bintang-bintang tersebut menggambarkan tempat yang indah dan terang dipenuhi bintang-bintang. Seperti itulah kira-kira Bung Karno menggambarkan standar impian yang harus kita targetkan.   
Maka dari itu, penting bagi para pemimpi membawa bekal mastatho’tum ini dalam perjalanan mencapai cita-citanya. Mastatho’tum bukanlah sekadar berusaha semaksimal dan semampu kita, namun mastatho’tum juga melandaskan diri pada Allah SWT. Imam Syafi’I pernah berpesan “Jika kau telah berada di jalan Allah, melesatlah dengan kencang. Jika sulit, maka tetaplah berlari meski kecil langkahmu. Bila engkau lelah, berjalanlah menghela lapang. Dan bila semua itu tak mampu kau lakukan, tetaplah maju meski terus merangkak, dan jangan pernah sekalipun berbalik ke belakang”.
Pesan tersebut bermakna mendalam bagi siapapun yang sedang dalam perjalanan mengejar impian. Menggenggam mastatho’tum ibarat memegang kunci impian. Impian tersebut tidak akan diraih tanpa kunci mastatho’tum. Mungkin kita tidak akan menikmati terangnya sinar lampu, tanpa mastatho’tum dari Thomas Alva Edison yang sampai seribu kali melakukan eksperimen. Atau bahkan mungkin kita tidak menikmati nikmatnya Iman dan Islam, tanpa mastatho’tum dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat saat itu. Sejenak mengingat perjuangan beliau dahulu dalam menegakkan ajaran Islam, sampai beliau dicaci, dimaki, bahkan memperoleh ancaman pembunuhan, namun mastatho’tum lah yang membuat Beliau tetap menebarkan kebaikan bagi umat manusia. Oleh karena itu, meneladani kebaikan para pendahulu adalah kebaikan yang akan dilipatgandakan oleh Allah SWT, termasuk meneladani mastatho’tum para pendahulu untuk kebaikan masa kini dan masa yang akan datang.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 1)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 2)

Perjalanan Panjang meraih Beasiswa Fulbright (Part 3)